Anjungan maluku
Pertama kami pergi ke anjungan Maluku yang dibangun pada awal tahun 1970-an sebagai bagian dari proyek besar untuk memperkenalkan budaya dari masing-masing provinsi di Indonesia. Meskipun tidak tercatat secara spesifik tanggal peresmian tiap anjungan, diperkirakan Anjungan Maluku mulai dibangun antara tahun 1973 hingga awal 1975, seiring dengan penyelesaian proyek-proyek anjungan lainnya di kawasan tersebut. Anjungan ini kemudian mulai aktif menampilkan budaya Maluku sejak pembukaan resmi kawasan budaya nasional itu pada 20 April 1975.
Ikon utama Anjungan Maluku adalah Rumah Baileo, sebuah rumah tradisional Maluku yang memiliki fungsi penting dalam kehidupan masyarakat. Baileo bukan hanya bangunan, tetapi juga simbol persekutuan dan tempat musyawarah adat.
Keunikan rumah baileo:
- Tidak memiliki dinding agar terbuka dan mencerminkan keterbukaan dalam bermusyawarah.
- Jumlah tiangnya disesuaikan dengan filosofi Siwalima (9 tiang depan-belakang dan 5 di tiap sisi samping).
- Dihiasi ornamen dan ukiran khas Maluku.
- Di dalam dan sekitar anjungan, pengunjung dapat melihat dan mempelajari berbagai warisan budaya dari Maluku:Busana tradisional, seperti baju pengantin Ambon dan Tanimbar, serta kostum adat Nae Baileo.
- Senjata tradisional, termasuk parang dan perisai Salawaku, yang unik karena bentuknya asimetris dan penuh motif simbolik.
- Alat musik tradisional, seperti Tifa, Totobuang, dan Tahuri (alat musik dari kerang).
- Miniatur alat penyuling minyak kayu putih, yang merepresentasikan salah satu komoditas unggulan Maluku.
- Kerajinan tangan, termasuk hiasan dari cengkeh, mutiara, dan kerang laut.
Suling Paruh terbuat dari seruas bambu dengan salah satu ujungnya disumbat kayu yang dipotong miring menyerupai paruh burung. Ujung tersebut berfungsi sebagai celah udara untuk meniup. Alat musik ini dilengkapi dengan tujuh lubang nada di sisi depan dan satu lubang di sisi belakang sebagai lubang jari. Suling Paruh digunakan untuk mengiringi musik Sawat, sebuah genre musik tradisional Maluku yang memiliki pola ritme rumit dan melodi yang kaya ornamen. Melodi suling dalam musik Sawat mencerminkan cara berpikir dan pola tingkah laku masyarakat Maluku yang adaptif dan terbuka.
Tahuri dibuat dari cangkang kerang laut yang telah dibersihkan dan dilubangi dengan bor untuk menghasilkan nada tertentu. Ukuran dan bentuk lubang memengaruhi nada yang dihasilkan; semakin kecil kerangnya, semakin nyaring bunyinya, dan sebaliknya. Tahuri hanya menghasilkan satu nada, sehingga untuk membentuk tangga nada lengkap diperlukan beberapa tahuri dengan ukuran dan lubang yang berbeda-beda. Kerang yang digunakan biasanya berasal dari laut Saumlaki, Dobo, Kepulauan Aru, dan Banda.
Tifa berasal dari tradisi lisan dan mitos suku-suku di Papua dan Maluku. Setiap suku memiliki cerita lisan yang mengaitkan tifa dengan mitos tentang asal-usul suku mereka atau hubungan mereka dengan alam. Tifa umumnya terbuat dari kayu keras lokal seperti kayu lenggua dan menggunakan kulit hewan seperti rusa atau biawak sebagai membrannya. Bagian tengah kayu dilubangi dan salah satu sisinya ditutup dengan kulit hewan yang diikat dengan tali rotan. Ukuran tifa bervariasi, mulai dari 60 cm hingga lebih dari 1 meter, tergantung pada tinggi rata-rata warga suku yang menggunakannya. Beberapa suku, seperti suku Marind di Merauke, bahkan memiliki tifa sepanjang 4 meter.