Pembangunan TMII dimulai pada tahun 1972. Proyek ini berada di atas lahan seluas kurang lebih 150 hektare, terletak di Cipayung, Jakarta Timur. TMII diresmikan dan dibuka untuk umum pada tanggal 20 April 1975 oleh Presiden Soeharto. Sejak saat itu, TMII menjadi destinasi wisata edukatif, budaya, dan rekreasi yang sangat populer. Tujuan utama pembangunan TMII adalah untuk menumbuhkan rasa bangga dan cinta tanah air, serta memperkenalkan budaya daerah kepada masyarakat luas, termasuk wisatawan domestik dan mancanegara. TMII menggambarkan semboyan nasional "Bhinneka Tunggal Ika" berbeda-beda tetapi tetap satu. Ini tercermin dari keberagaman budaya yang ditampilkan dalam satu lokasi yang harmonis. TMII bukan sekadar tempat wisata, melainkan simbol identitas dan persatuan bangsa Indonesia.
Gagasan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah berasal dari Ibu Tien Soeharto, istri Presiden Soeharto, yang menginginkan adanya suatu tempat yang dapat merangkum kekayaan budaya Indonesia dalam skala mini. Tujuan utamanya adalah memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, serta menjadikannya sebagai sarana pemersatu bangsa. Dalam perancangannya, TMII mengadopsi konsep taman budaya yang menampilkan paviliun-paviliun daerah dari seluruh provinsi di Indonesia, yang menampilkan arsitektur khas, pakaian adat, tarian tradisional, hingga alat musik khas daerah.
Proses pembangunan TMII melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat dari berbagai provinsi yang turut serta dalam pengumpulan materi budaya untuk ditampilkan di paviliun masing-masing. Selain paviliun daerah, TMII juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung seperti Teater Imax Keong Emas, Museum Indonesia, anjungan rumah adat, taman flora dan fauna, serta tempat ibadah dari berbagai agama yang mencerminkan keragaman kehidupan beragama di Indonesia.
Pertama kami pergi ke anjungan Maluku yang dibangun pada awal tahun 1970-an sebagai bagian dari proyek besar untuk memperkenalkan budaya dari masing-masing provinsi di Indonesia. Meskipun tidak tercatat secara spesifik tanggal peresmian tiap anjungan, diperkirakan Anjungan Maluku mulai dibangun antara tahun 1973 hingga awal 1975, seiring dengan penyelesaian proyek-proyek anjungan lainnya di kawasan tersebut. Anjungan ini kemudian mulai aktif menampilkan budaya Maluku sejak pembukaan resmi kawasan budaya nasional itu pada 20 April 1975.
Ikon utama Anjungan Maluku adalah Rumah Baileo, sebuah rumah tradisional Maluku yang memiliki fungsi penting dalam kehidupan masyarakat. Baileo bukan hanya bangunan, tetapi juga simbol persekutuan dan tempat musyawarah adat.
Anjungan Kalimantan Tengah di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang merupakan bentuk representasi budaya Provinsi Kalimantan Tengah yang dibangun untuk memperkenalkan kekayaan adat istiadat dan filosofi hidup masyarakat Dayak kepada masyarakat luas, baik nasional maupun internasional.Pembangunan Anjungan Kalimantan Tengah dimulai pada awal tahun 1970-an dan selesai pada tahun 1975, bertepatan dengan peresmian TMII secara keseluruhan oleh Presiden Soeharto pada 20 April 1975. Pembangunan anjungan ini merupakan bagian dari proyek nasional untuk merepresentasikan keberagaman budaya Indonesia melalui bentuk miniatur di ibu kota.Tujuan utama pembangunan Anjungan Kalimantan Tengah adalah untuk mengenalkan budaya dan filosofi kehidupan suku Dayak, khususnya Dayak Ngaju, yang merupakan salah satu kelompok suku Dayak terbesar di provinsi tersebut. Filosofi yang diangkat menekankan pada kehidupan kolektif, musyawarah adat, dan keharmonisan dengan alam, nilai-nilai yang menjadi inti kehidupan masyarakat pedalaman Kalimantan.Ikon utama Anjungan Kalimantan Tengah adalah Rumah Betang, rumah panjang tradisional suku Dayak Ngaju. Rumah ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga pusat kehidupan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Dayak.
Museum Hakka Indonesia yang terletak di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, diresmikan pada 30 Agustus 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pembangunan museum ini merupakan hasil gagasan komunitas Hakka Indonesia yang ingin memiliki tempat untuk mengenalkan dan melestarikan budaya serta sejarah etnis Hakka di Indonesia. Peletakan batu pertamanya dilakukan pada 8 Oktober 2010, dan proses pembangunannya berlangsung selama hampir tiga tahun. Museum ini dibangun atas kerja sama antara Perhimpunan Hakka Indonesia Sejahtera, Yayasan Budaya Hakka Indonesia, dan TMII.
Bangunan museum ini berbentuk bundar, meniru bentuk Tulou, yaitu rumah tradisional khas masyarakat Hakka di Provinsi Fujian, Tiongkok. Bentuk ini tidak hanya ikonik, tetapi juga sarat makna, karena melambangkan kebersamaan, perlindungan, dan sistem sosial kolektif khas Hakka yang saling menjaga satu sama lain dalam satu komunitas tertutup. Museum ini menjadi satu-satunya museum bertema Hakka yang berskala besar di Asia Tenggara dan menjadi pusat budaya Hakka terbesar di luar Tiongkok.
Fakta unik adalah bahwa komunitas Hakka dikenal sebagai kelompok perantau yang tangguh, ulet, dan sangat menjaga tradisi, terutama dalam hal bahasa dan kuliner. Banyak hidangan khas Hakka, seperti lei cha (teh petir) dan abacus seed (semacam kue dari talas), diperkenalkan di Indonesia dan kini menjadi bagian dari kekayaan kuliner Tionghoa-Indonesia. Di museum ini, pengunjung bisa menemukan replika dapur tradisional Hakka lengkap dengan alat-alat masaknya.
Museum Hakka Indonesia juga menjadi simbol pengakuan bahwa masyarakat Tionghoa, termasuk Hakka, merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Museum ini turut mengedukasi publik bahwa asimilasi budaya tidak harus menghilangkan jati diri, dan keberagaman adalah kekuatan bangsa.
SMK Negeri 8 Jakarta, sebelumnya dikenal sebagai SMEA Negeri 4 Jakarta, didirikan pada 30 September 1965 sebagai sekolah filial dari SMEA Negeri 3 Jakarta. Awalnya, kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di Jl. Prof. Dr. Joko Sutono, SH, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pada tahun 1977, sekolah ini pindah ke lokasi baru di Jl. Raya Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pada tahun 1986, SMEA Negeri 4 Jakarta mendapatkan bantuan dari Asian Development Bank (ADB) sebagai sekolah percontohan, lengkap dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai.
Sejak tahun 1998, sesuai dengan kebijakan pemerintah, SMEA Negeri 4 Jakarta berganti nama menjadi SMK Negeri 8 Jakarta. Sekolah ini memiliki spektrum bidang keahlian bisnis dan manajemen serta pariwisata.
SMK Negeri 8 Jakarta pernah menjadi lokasi pembuatan beberapa film dan iklan komersial, yang paling terkenal adalah film Catatan Akhir Sekolah (2005).
Pada tahun 2018, SMK Negeri 8 Jakarta menambah satu kompetensi keahlian Usaha Perjalanan Wisata (UPW) yang dimulai dengan satu kelas. Pada tahun 2023, sekolah ini menambah satu kompetensi keahlian Rekayasa Perangkat Lunak (RPL) yang juga dimulai dengan satu kelas.
Saat ini, SMK Negeri 8 Jakarta terletak di Jl. Raya Pejaten, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dan telah terakreditasi A serta memiliki sertifikasi ISO 9001:2008.