SMK Negeri 8 Jakarta, sebelumnya dikenal sebagai SMEA Negeri 4 Jakarta, didirikan pada 30 September 1965 sebagai sekolah filial dari SMEA Negeri 3 Jakarta. Awalnya, kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di Jl. Prof. Dr. Joko Sutono, SH, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pada tahun 1977, sekolah ini pindah ke lokasi baru di Jl. Raya Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pada tahun 1986, SMEA Negeri 4 Jakarta mendapatkan bantuan dari Asian Development Bank (ADB) sebagai sekolah percontohan, lengkap dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai.
Sejak tahun 1998, sesuai dengan kebijakan pemerintah, SMEA Negeri 4 Jakarta berganti nama menjadi SMK Negeri 8 Jakarta. Sekolah ini memiliki spektrum bidang keahlian bisnis dan manajemen serta pariwisata.
SMK Negeri 8 Jakarta pernah menjadi lokasi pembuatan beberapa film dan iklan komersial, yang paling terkenal adalah film Catatan Akhir Sekolah (2005). Pada tahun 2018, SMK Negeri 8 Jakarta menambah satu kompetensi keahlian Usaha Perjalanan Wisata (UPW) yang dimulai dengan satu kelas. Pada tahun 2023, sekolah ini menambah satu kompetensi keahlian Rekayasa Perangkat Lunak (RPL) yang juga dimulai dengan satu kelas. Saat ini, SMK Negeri 8 Jakarta terletak di Jl. Raya Pejaten, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dan telah terakreditasi A serta memiliki sertifikasi ISO 9001:2008.
Pembangunan TMII dimulai pada tahun 1972. Proyek ini berada di atas lahan seluas kurang lebih 150 hektare, terletak di Cipayung, Jakarta Timur. TMII diresmikan dan dibuka untuk umum pada tanggal 20 April 1975 oleh Presiden Soeharto. Sejak saat itu, TMII menjadi destinasi wisata edukatif, budaya, dan rekreasi yang sangat populer. Tujuan utama pembangunan TMII adalah untuk menumbuhkan rasa bangga dan cinta tanah air, serta memperkenalkan budaya daerah kepada masyarakat luas, termasuk wisatawan domestik dan mancanegara. TMII menggambarkan semboyan nasional "Bhinneka Tunggal Ika" berbeda-beda tetapi tetap satu. Ini tercermin dari keberagaman budaya yang ditampilkan dalam satu lokasi yang harmonis. TMII bukan sekadar tempat wisata, melainkan simbol identitas dan persatuan bangsa Indonesia.
Gagasan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah berasal dari Ibu Tien Soeharto, istri Presiden Soeharto, yang menginginkan adanya suatu tempat yang dapat merangkum kekayaan budaya Indonesia dalam skala mini. Tujuan utamanya adalah memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, serta menjadikannya sebagai sarana pemersatu bangsa. Dalam perancangannya, TMII mengadopsi konsep taman budaya yang menampilkan paviliun-paviliun daerah dari seluruh provinsi di Indonesia, yang menampilkan arsitektur khas, pakaian adat, tarian tradisional, hingga alat musik khas daerah.
Proses pembangunan TMII melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat dari berbagai provinsi yang turut serta dalam pengumpulan materi budaya untuk ditampilkan di paviliun masing-masing. Selain paviliun daerah, TMII juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung seperti Teater Imax Keong Emas, Museum Indonesia, anjungan rumah adat, taman flora dan fauna, serta tempat ibadah dari berbagai agama yang mencerminkan keragaman kehidupan beragama di Indonesia.
Pertama kami pergi ke anjungan Maluku yang dibangun pada awal tahun 1970-an sebagai bagian dari proyek besar untuk memperkenalkan budaya dari masing-masing provinsi di Indonesia. Meskipun tidak tercatat secara spesifik tanggal peresmian tiap anjungan, diperkirakan Anjungan Maluku mulai dibangun antara tahun 1973 hingga awal 1975, seiring dengan penyelesaian proyek-proyek anjungan lainnya di kawasan tersebut. Anjungan ini kemudian mulai aktif menampilkan budaya Maluku sejak pembukaan resmi kawasan budaya nasional itu pada 20 April 1975.
Maluku merupakan wilayah kepulauan yang terletak di bagian timur Indonesia dan memiliki sejarah panjang yang kaya, terutama karena peranannya sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dunia pada masa lampau. Nama "Maluku" sendiri diyakini berasal dari istilah Arab "Al-Muluk", yang berarti "negeri para raja", karena wilayah ini dulunya dihuni oleh banyak kerajaan kecil yang memiliki kekuasaan lokal masing-masing. Sejak zaman dahulu, Maluku telah menjadi salah satu daerah strategis yang dilirik oleh berbagai bangsa asing karena kekayaan alamnya, khususnya rempah-rempah seperti pala dan cengkeh yang hanya tumbuh di wilayah tropis tertentu, dan Maluku menjadi pusatnya. Sejak awal abad ke-14 hingga ke-15, pedagang dari Arab, India, dan Cina telah melakukan kontak dagang dengan penduduk Maluku, menjadikan wilayah ini sebagai jalur perdagangan penting di Asia Tenggara.
Pada masa sebelum kolonialisme, Maluku terdiri atas beberapa kerajaan maritim yang kuat dan berpengaruh, di antaranya adalah Kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku Utara, serta Kerajaan Hitu dan Hila di Maluku Tengah. Kerajaan-kerajaan ini sering terlibat dalam persaingan untuk menguasai jalur perdagangan rempah dan membangun pengaruh politik serta ekonomi di kawasan tersebut. Ketika bangsa Portugis datang pertama kali ke Maluku pada tahun 1512, mereka langsung tertarik dengan potensi ekonomi rempah-rempah di wilayah ini. Portugis mulai membangun benteng dan menjalin hubungan dengan kerajaan lokal, terutama dengan Ternate. Namun, hubungan ini kemudian berubah menjadi konflik karena ambisi Portugis untuk menguasai sepenuhnya perdagangan rempah. Setelah Portugis, bangsa Spanyol juga datang dan bersaing dengan Portugis, terutama di wilayah Tidore. Persaingan kedua bangsa Eropa ini membuat wilayah Maluku menjadi arena perebutan kekuasaan asing.
Kondisi semakin rumit ketika Belanda, melalui perusahaan dagangnya yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), masuk ke Maluku pada awal abad ke-17 dan secara bertahap mengambil alih kendali perdagangan rempah-rempah dari Portugis dan Spanyol. VOC menerapkan sistem monopoli perdagangan yang ketat, memaksa penduduk untuk menanam hanya jenis rempah tertentu, dan sering kali menghancurkan tanaman lain untuk menjaga harga rempah tetap tinggi. Penduduk lokal yang menolak bekerja sama sering kali dipaksa atau dihukum. Akibat sistem ini, terjadi banyak penindasan terhadap rakyat dan kerajaan-kerajaan lokal, termasuk penghancuran wilayah dan pengusiran penduduk. Ketidakadilan tersebut menimbulkan berbagai perlawanan, yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura, atau Thomas Matulessy, pada tahun 1817. Pattimura bersama pasukannya melawan penjajahan Belanda di wilayah Ambon dan sekitarnya. Meskipun akhirnya ditangkap dan dihukum mati oleh Belanda, semangat perjuangannya dikenang sebagai simbol perlawanan rakyat Maluku, dan beliau diangkat sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Pada masa sebelum kolonialisme, Maluku terdiri atas beberapa kerajaan maritim yang kuat dan berpengaruh, di antaranya adalah Kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku Utara, serta Kerajaan Hitu dan Hila di Maluku Tengah. Kerajaan-kerajaan ini sering terlibat dalam persaingan untuk menguasai jalur perdagangan rempah dan membangun pengaruh politik serta ekonomi di kawasan tersebut. Ketika bangsa Portugis datang pertama kali ke Maluku pada tahun 1512, mereka langsung tertarik dengan potensi ekonomi rempah-rempah di wilayah ini. Portugis mulai membangun benteng dan menjalin hubungan dengan kerajaan lokal, terutama dengan Ternate. Namun, hubungan ini kemudian berubah menjadi konflik karena ambisi Portugis untuk menguasai sepenuhnya perdagangan rempah. Setelah Portugis, bangsa Spanyol juga datang dan bersaing dengan Portugis, terutama di wilayah Tidore. Persaingan kedua bangsa Eropa ini membuat wilayah Maluku menjadi arena perebutan kekuasaan asing.
Kondisi semakin rumit ketika Belanda, melalui perusahaan dagangnya yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), masuk ke Maluku pada awal abad ke-17 dan secara bertahap mengambil alih kendali perdagangan rempah-rempah dari Portugis dan Spanyol. VOC menerapkan sistem monopoli perdagangan yang ketat, memaksa penduduk untuk menanam hanya jenis rempah tertentu, dan sering kali menghancurkan tanaman lain untuk menjaga harga rempah tetap tinggi. Penduduk lokal yang menolak bekerja sama sering kali dipaksa atau dihukum. Akibat sistem ini, terjadi banyak penindasan terhadap rakyat dan kerajaan-kerajaan lokal, termasuk penghancuran wilayah dan pengusiran penduduk. Ketidakadilan tersebut menimbulkan berbagai perlawanan, yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura, atau Thomas Matulessy, pada tahun 1817. Pattimura bersama pasukannya melawan penjajahan Belanda di wilayah Ambon dan sekitarnya. Meskipun akhirnya ditangkap dan dihukum mati oleh Belanda, semangat perjuangannya dikenang sebagai simbol perlawanan rakyat Maluku, dan beliau diangkat sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Selain rumah Baileo, Anjungan Maluku juga menampilkan berbagai unsur kebudayaan lainnya seperti alat musik tradisional tifa dan totobuang, pakaian adat yang mencerminkan keberagaman etnis di Maluku, replika perahu tradisional seperti perahu kora-kora yang digunakan untuk peperangan maupun upacara adat, serta diorama perjuangan tokoh-tokoh penting Maluku seperti Kapitan Pattimura dan Martha Christina Tiahahu. Anjungan ini juga sering mengadakan pagelaran seni budaya seperti tarian-tarian tradisional Maluku (tari Cakalele, tari Lenso, dll), pertunjukan musik tradisional, hingga pameran kerajinan tangan lokal seperti tenun ikat, ukiran kayu, dan anyaman. Selain itu, anjungan juga berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat Maluku di Jakarta serta menjadi sarana edukasi bagi pengunjung dari berbagai daerah yang ingin mengenal lebih dekat kekayaan budaya Maluku.
Dengan keberadaan Anjungan Maluku di TMII, warisan budaya dan sejarah panjang masyarakat Maluku tetap terpelihara dan diperkenalkan kepada generasi muda Indonesia. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa keberagaman budaya Indonesia adalah kekayaan yang patut dibanggakan dan dilestarikan. Melalui anjungan ini, semangat perjuangan dan nilai-nilai luhur masyarakat Maluku seperti musyawarah, keberanian, dan kekeluargaan dapat terus hidup dan menginspirasi seluruh rakyat Indonesia.
Anjungan Kalimantan Tengah di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang merupakan bentuk representasi budaya Provinsi Kalimantan Tengah yang dibangun untuk memperkenalkan kekayaan adat istiadat dan filosofi hidup masyarakat Dayak kepada masyarakat luas, baik nasional maupun internasional.Pembangunan Anjungan Kalimantan Tengah dimulai pada awal tahun 1970-an dan selesai pada tahun 1975, bertepatan dengan peresmian TMII secara keseluruhan oleh Presiden Soeharto pada 20 April 1975. Pembangunan anjungan ini merupakan bagian dari proyek nasional untuk merepresentasikan keberagaman budaya Indonesia melalui bentuk miniatur di ibu kota.Tujuan utama pembangunan Anjungan Kalimantan Tengah adalah untuk mengenalkan budaya dan filosofi kehidupan suku Dayak, khususnya Dayak Ngaju, yang merupakan salah satu kelompok suku Dayak terbesar di provinsi tersebut. Filosofi yang diangkat menekankan pada kehidupan kolektif, musyawarah adat, dan keharmonisan dengan alam, nilai-nilai yang menjadi inti kehidupan masyarakat pedalaman Kalimantan.Ikon utama Anjungan Kalimantan Tengah adalah Rumah Betang, rumah panjang tradisional suku Dayak Ngaju. Rumah ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga pusat kehidupan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Dayak.
Kalimantan Tengah adalah salah satu dari lima provinsi yang terletak di Pulau Kalimantan dan secara resmi dibentuk pada tanggal 23 Mei 1957 berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957. Wilayah ini sebelumnya merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan yang kemudian dimekarkan menjadi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Provinsi ini memiliki ibu kota di Palangka Raya, sebuah kota yang dirancang sejak awal sebagai pusat pemerintahan yang modern dan juga sempat diusulkan sebagai calon ibu kota negara oleh Presiden Soekarno karena letaknya yang strategis dan aman secara geografis. Kalimantan Tengah dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam seperti hutan, kayu, tambang, serta budaya tradisional yang masih lestari, khususnya budaya suku Dayak yang merupakan penduduk asli pulau Kalimantan.
Kalimantan Tengah adalah salah satu dari lima provinsi yang terletak di Pulau Kalimantan dan secara resmi dibentuk pada tanggal 23 Mei 1957 berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957. Wilayah ini sebelumnya merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan yang kemudian dimekarkan menjadi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Provinsi ini memiliki ibu kota di Palangka Raya, sebuah kota yang dirancang sejak awal sebagai pusat pemerintahan yang modern dan juga sempat diusulkan sebagai calon ibu kota negara oleh Presiden Soekarno karena letaknya yang strategis dan aman secara geografis. Kalimantan Tengah dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam seperti hutan, kayu, tambang, serta budaya tradisional yang masih lestari, khususnya budaya suku Dayak yang merupakan penduduk asli pulau Kalimantan.
Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah terbagi ke dalam berbagai sub-suku, di antaranya Dayak Ngaju, Dayak Ma'anyan, Dayak Ot Danum, dan Dayak Lawangan. Di antara semua sub-suku tersebut, Dayak Ngaju menjadi salah satu kelompok terbesar dan paling berpengaruh dalam kehidupan sosial dan budaya di provinsi ini. Suku Dayak memiliki budaya yang sangat kuat dan khas, terutama dalam sistem kepercayaan, struktur sosial, adat istiadat, dan kearifan lokal yang menekankan pada keharmonisan antara manusia, alam, dan roh leluhur. Nilai-nilai ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk arsitektur tradisional, seni ukir, ritual adat, hingga filosofi hidup yang diwariskan secara turun temurun. Sebagai upaya untuk melestarikan dan memperkenalkan kekayaan budaya tersebut kepada masyarakat luas, terutama di luar Kalimantan, dibangunlah Anjungan Kalimantan Tengah di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). TMII adalah taman budaya berskala nasional yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 April 1975, sebagai bentuk miniatur dari keberagaman budaya Indonesia di ibu kota negara. Pembangunan Anjungan Kalimantan Tengah sendiri dimulai pada awal tahun 1970-an dan selesai bersamaan dengan peresmian TMII secara keseluruhan. Pembangunan ini merupakan bagian dari proyek nasional yang diprakarsai oleh Ibu Tien Soeharto untuk memperlihatkan kekayaan budaya dari setiap provinsi dalam satu kawasan yang mudah diakses oleh masyarakat nasional maupun internasional.
Tujuan utama dari pembangunan Anjungan Kalimantan Tengah adalah untuk menampilkan identitas budaya masyarakat Kalimantan Tengah secara utuh, khususnya budaya suku Dayak Ngaju. Anjungan ini menjadi media representasi yang tidak hanya menampilkan bentuk fisik rumah adat, tetapi juga mengangkat nilai-nilai luhur yang menjadi filosofi hidup masyarakat Dayak, seperti pentingnya musyawarah adat, kehidupan kolektif, penghormatan terhadap leluhur, serta keseimbangan dengan alam. Hal ini penting untuk diketahui masyarakat luar, mengingat budaya Dayak sering kali disalahpahami atau kurang dikenal secara menyeluruh.
Perjalanan kami menuju Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dimulai dari kawasan Pejaten, melewati Jl. Pejaten Raya dan Jl. Pejaten Village, yang dikenal sebagai pusat niaga dan perbelanjaan modern. Selanjutnya, kami melintasi Jl. Margasatwa, yang berada tak jauh dari Kebun Binatang Ragunan, salah satu kebun binatang tertua di Indonesia yang berdiri sejak masa kolonial.
Dari sana, kami masuk ke Jl. TB Simatupang, jalan besar yang dinamai dari pahlawan nasional Letjen T.B. Simatupang, yang kini menjadi pusat perkantoran di Jakarta Selatan. Lalu, kami melalui Tol Lenteng Agung, yang berbatasan dengan Depok dan merupakan jalur strategis sejak era pembangunan kota modern. Perjalanan dilanjutkan ke Tol JORR, tol lingkar luar yang menghubungkan berbagai penjuru Jakarta.
Mendekati TMII, kami melewati area Terminal Bayangan yang sering digunakan angkutan umum meski tidak resmi, lalu masuk ke kawasan Pasar Rebo, daerah yang dulunya terkenal karena pasar rakyat yang hanya buka setiap hari Rabu. Kami juga melintasi Jl. Taman Segitiga Pasar Rebo, jalur kecil yang jadi alternatif ke TMII, serta menyusuri Gang Molen, gang sempit yang menjadi jalur pintas di tengah padatnya permukiman kota.
Bangunan museum ini berbentuk bundar, meniru bentuk Tulou, yaitu rumah tradisional khas masyarakat Hakka di Provinsi Fujian, Tiongkok. Bentuk ini tidak hanya ikonik, tetapi juga sarat makna, karena melambangkan kebersamaan, perlindungan, dan sistem sosial kolektif khas Hakka yang saling menjaga satu sama lain dalam satu komunitas tertutup. Museum ini menjadi satu-satunya museum bertema Hakka yang berskala besar di Asia Tenggara dan menjadi pusat budaya Hakka terbesar di luar Tiongkok.
Museum Hakka Indonesia yang terletak di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, diresmikan pada 30 Agustus 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pembangunan museum ini merupakan hasil gagasan komunitas Hakka Indonesia yang ingin memiliki tempat untuk mengenalkan dan melestarikan budaya serta sejarah etnis Hakka di Indonesia. Peletakan batu pertamanya dilakukan pada 8 Oktober 2010, dan proses pembangunannya berlangsung selama hampir tiga tahun. Museum ini dibangun atas kerja sama antara Perhimpunan Hakka Indonesia Sejahtera, Yayasan Budaya Hakka Indonesia, dan TMII.
Museum Hakka Indonesia juga menjadi simbol pengakuan bahwa masyarakat Tionghoa, termasuk Hakka, merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Museum ini turut mengedukasi publik bahwa asimilasi budaya tidak harus menghilangkan jati diri, dan keberagaman adalah kekuatan bangsa.
Fakta unik adalah bahwa komunitas Hakka dikenal sebagai kelompok perantau yang tangguh, ulet, dan sangat menjaga tradisi, terutama dalam hal bahasa dan kuliner. Banyak hidangan khas Hakka, seperti lei cha (teh petir) dan abacus seed (semacam kue dari talas), diperkenalkan di Indonesia dan kini menjadi bagian dari kekayaan kuliner Tionghoa-Indonesia. Di museum ini, pengunjung bisa menemukan replika dapur tradisional Hakka lengkap dengan alat-alat masaknya.